Ku bendung air mata ku dalam cawan kedukaan. Bersimbah luka aku bertahan dalam rintihan samar yang hanya dapat didengar oleh kalbu ku. Tidak oleh mu! Aku membenam diri dalam lumpur berharap saat aku bangkit, kesakitan ini telah berakhir. Bukan karena aku tak sanggup menahannya tapi aku muak mengingatnya. Risau ku membangunkan aku dari mimpi lelap ku. Kebodohan itu mendarah daging hingga aku terjerumus dalam jurang curam yang tak dapat ku daki saat aku telah berada di bawahnya. Aku tidak menyesali apa yang telah aku perbuat. Aku hanya tak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan saat ini. Curahan rasa simpati ku terima dengan lapang, Namun tetap saja tak memperbaik suasana hati yang telah terlanjur berduka hingga ke dasarnya.
Aku menutup diri. Bukan karena aku malu namun karena aku tak sanggup menerima tatapan aneh yang tertuju pada ku. Aku muak dengan mereka! Muak dengan cibiran yang membuatku ingin muntah saat mendengarnya. Sadarkah kalian para pencibir bahwa hidup kalian belum tentu lebih baik dari hidup ku? Berkaca lah. Pelajari apa yang telah kau lakukan.
Ratap duka ku bukan luapan keputus-asaan ku. Tapi luapan emosi yang memuncak yang selama ini tertahan bersama air mata dalam bendungan kedukaan ku. Tatap ku sendu. Bukan karena aku meminta belas kasih melainkan karena aku tak lagi mampu mengobral senyum istimewa ku. AKU MUAK DENGAN KEPURA-PURAAN!