Rabu, 23 January 2002
Enron dan Sisi Gelap Kapitalisme
Sejarah, kata Francis Fukuyama, telah berakhir dengan kemenangan
demokrasi dan pasar bebas. Kenapa demokrasi Amerika tak bisa mengakhiri
sejarah ketamakan manusia akan uang serta kekuasaan?
Enron Corp. adalah “pencakar langit” dalam dunia bisnis Amerika, sama
seperti Gedung World Trade Center yang menjulang tinggi di kota New
York. Mirip Tragedi WTC, tapi minus darah dan kematian, Enron menguap
jadi debu saat perusahaan itu menyatakan diri bangkrut pada 2 Desember
lalu, -kebangkrutan terbesar dalam sejarah bisnis Amerika sepanjang
masa.
Kali ini, tak ada Usamah bin Ladin atau Al Qaidah yang bisa menjadi
kambing hitam. Publik Amerika dipaksa untuk menuding cacat dalam
sistemnya sendiri-sistem ekonomi maupun politiknya-sebagai “teroris”
yang merontokkan Enron secara mengejutkan itu.
Mengejutkan dan mencengangkan. Belum lama berselang, perusahaan
raksasa energi itu masih bertengger di peringkat ke-7 dalam “Fortune
500″-daftar perusahaan terkaya dunia versi Majalah Fortune. Omsetnya
bisnisnya pada tahun 2000 lalu tercatat sekitar US$ 100 milyar,
kurang-lebih sama dengan total pendapatan kotor negeri sebesar Indonesia
pada tahun yang sama.
Enron dipandang sukses menyulap diri dari sekadar perusahaan
pipanisasi gas alam di Negara Bagian Texas pada 1985 menjadi raksasa
global dalam beberapa tahun terakhir. Dia membeli perusahaan air minum
di Inggris dan membangun pembangkit listrik swasta di India. Konsep
bisnisnya yang visioner dan futuristik membuat dia menjadi anak emas di
lantai bursa Wall Street. Harga sahamnya terus meroket.
Akhir 1999, Enron meluncurkan EnronOnline yang dianggap akan mengubah
wajah bisnis energi masa depan. Memanfaatkan Internet, divisi
e-commerce itu membeli gas, air minum dan tenaga listrik dari produsen
dan menjualnya kepada pelanggan atau distributor besar. Enron bahkan
memperluas wilayah: membangun jaringan telekomunikasi berkecepatan
tinggi serta bertekad menjual bandwidth jaringan itu seperti dia menjual
gas dan listrik. Setelah itu mungkin dia akan jual-beli online untuk
kertas daur ulang pabrik miliknya.
Tak lama setelah dia memasuki bisnis jasa video-on-demand-menjual
tayangan video kepada pelanggan via sambungan internet kecepatan
tinggi–harga saham Enron mencapai puncaknya, US$ 90 per lembar, pada
Agustus 2000. Meski kemudian merosot bersama jatuhnya saham-saham
teknologi dan internet lain, pertengahan tahun lalu nilai pasar Enron
(jumlah lembar saham dikalikan harganya) masih berkisar US$ 60 milyar,
atau dua kali lipat anggaran belanja Indonesia.
Miliaran dolar menguap hampir seketika. Pada Oktober 2001 Enron
menjatuhkan bom di Wall Street dengan melaporkan kerugian ratusan juta
dolar pada kwartal itu. Sangat mengejutkan karena Enron hampir selalu
membawa berita gembira ke lantai bursa dengan selama empat tahun
berturut-turut melaporkan keuntungan. Kabar buruk itu membanting harga
saham Enron dari sekitar US$ 30 menjadi US$ 10 per lembar, hanya dalam
hitungan hari.
Securities Exchange Commission (SEC), badan pengawas pasar modal,
membaui ada yang tidak beres dan mulai menggelar penyidikan. Dalam
kondisi terdesak, Enron menjatuhkan bom lebih dahsyat lagi ke lantai
bursa ketika pada 8 November mengakui bahwa keuntungannya selama ini
adalah fiksi belaka. Enron merevisi laporan keuangan lima tahun terakhir
dan membukukan kerugian US$ 586 juta serta tambahan catatan utang
sebesar US$ 2,5 miliar.
Harga saham Enron makin berkeping. Namun, pada akhir November, Enron
sedikit bisa bernafas lega ketika Dynegy Inc, pesaingnya yang jauh lebih
kecil, berniat membeli sahamnya dalam sebuah kesepakatan merger.
Harapan itu tak berumur lama. Spiral kematian terus berlanjut. Dynegy
mundur setelah Enron makin kehilangan kepercayaan investor dan rating
kreditnya jatuh ke titik terendah-berstatus “junk-bond”.
Dalam sebuah hari yang paling “berdarah”, ketika tak kurang
seperempat milyar lembar sahamnya dipertukarkan di lantai bursa, harga
Enron meluncur ke dasar jurang. Hanya puluhan sen nilainya. Beberapa
hari kemudian Enron menyerah: mengajukan petisi bangkrut.
Seperti timbunan besi dan beton bekas bangunan WTC di Manhattan,
Enron adalah puing berdebu sekarang. Tapi, cerita tak berakhir di situ.
Lebih Dahsyat dari Bre-X
Punahnya Enron meninggalkan kerugian milyaran dolar bagi investor.
Sertifikat saham mereka tak lagi punya nilai-mungkin hanya layak
dipajang dalam pigura untuk mengenang salah satu skandal keuangan
terbesar di awal abad ini. Skandal Enron lebih dahsyat dari Skandal
Saham Bre-X di Bursa Kanada beberapa tahun lalu. Saham Bre-X meroket
hanya untuk terjun bebas setelah perusahaan itu mengaku bahwa tambang
emasnya di Busang, Kalimantan, terbukti palsu.
Kolapsnya Enron juga mengguncang neraca keuangan para kreditornya
yang harus gigit jari meski telah mengucurkan milyaran dolar-JP Morgan
Chase dan Citigroup adalah dua kreditor terbesarnya.
Hujan tangis mewarnai dengar pendapat dalam sebuah komite kongres
awal Januari ini ketika para karyawan Enron dan investor kecil-kecilan
mengisahkan bagaimana simpanan hari tua mereka musnah hampir seketika.
Sebagian besar dana pensiun dan tabungan 20.000 karyawan Enron terikat
dalam saham yang kini tiada nilai.
Beberapa pekan sebelum bangkrut, Enron juga memecat sekitar 5.000
karyawannya, dari teknisi komputer di Texas hingga pendaur-ulang kertas
di New Jersey, menambah beban pengangguran di Amerika yang sekarang
sudah mencapai tingkat terburuk dalam 25 tahun terakhir.
Dengan dampak demikian luas, drama sebenarnya-juga sirkus–bahkan baru
saja dimulai. Skandal Enron menemukan bentuk barunya di panggung
pertempuran hukum yang luas, baik pidana maupun perdata. Implikasi
politiknya terbukti telah ikut mengguncang sekaligus Gedung Putih dan
Capitol Hill (Gedung Kongres).
Departemen Kehakiman kini menyidik kemungkinan adanya aspek pidana
dalam kasus itu. Empat komite kongres, semacam panitia khusus (pansus)
DPR di sini, giat mengaduk apa yang tersembunyi. Dan Departemen Tenaga
Kerja mencoba mencari siapa yang bertanggungjawab atas kerugian besar
para karyawan.
Salah satu episode paling menarik akan dipertontonkan 4 Februari
mendatang ketika sebuah komite kongres mengundang aktor utama dalam
drama ini: Kenneth L. Lay, presiden komisaris sekaligus direktur Enron.
Ken Lay akan ditanyai banyak hal.
Salah satunya: bagaimana bisa dia meraup untung ratusan juta dolar
dari penjualan saham Enron sementara ribuan karyawan nyaris kiamat
hidupnya tanpa perlindungan?
Sejak akhir tahun 2000, ketika harga saham Enron di posisi puncak,
para eksekutif menjual saham yang mereka miliki dengan total nilai US$
1,1 milyar. Selama empat tahun terakhir, Ken sendiri diperkirakan meraup
untung US$ 205 juta dari penjualan sahamnya. Dalam kurun yang sama dia
membujuk karyawan dan investor untuk membeli saham Enron, antara lain
dengan iming-iming laporan keuangan yang menjanjikan tapi palsu itu.
Bahkan pada 26 September 2001, ketika harga saham jatuh menjadi US$
25 per lembar, Ken Lay masih mencoba menghibur karyawan untuk tidak
menjualnya, sebaliknya membujuk mereka membeli. Dalam e-mail yang
dikirimkan kepada para karyawan yang risau, dia mengatakan perusahaan
dalam kondisi sehat secara keuangan dan bahwa harga saham Enron “luar
biasa murah” dalam posisi itu. Namun, hanya beberapa pekan kemudian,
Enron melaporkan kerugian yang bermuara pada kebangkrutannya. Para
karyawan tak bisa menjual saham mereka sampai semuanya sudah terlambat:
Enron kehilangan nilai sama sekali.
Pertanyaan penting lain akan menyangkut inti dari skandal ini: kenapa
Lay membolehkan para eksekutif Enron membentuk sejumlah perusahaan
rekanan rahasia dengan institusi di luar yang tidak jelas reputasinya?
Tidakkah dia dan dewan direksi mengeduk keuntungan dari perusahaan
rekanan itu, sekaligus menyembunyikan hutang Enron di situ sehingga
neraca keuangan Enron tetap nampak manis padahal kenyataannya busuk?
Pertanyaan serupa akan diajukan para penyidik kepada para eksekutif
di Arthur Andersen, perusahaan akuntan publik yang memeriksa laporan
keuangan Enron. Bagaimana bisa mereka kecolongan selama beberapa tahun
tanpa menandai penyimpangan dalam akutansi Enron yang agresif, bahkan
kriminal itu? Seberapa banyak Andersen tahu tentang pemusnahan sejumlah
dokumen audit Enron oleh salah satu auditornya? Pertanyaan yang lebih
kejam: tidakkah Andersen ikut terlibat mempermak laporan keuangan
mengingat Enron membayar mahal perusahaan itu-US$ 52 juta pada tahun
2000-tak hanya untuk jasa audit tapi juga jasa konsultasi?
Tapi, soal bisa akan lebih sederhana andai saja hanya Ken Lay, atau
Arthur Andersen, yang bisa jadi kambing hitam. Skandal Enron tak
sesederhana itu.
Jebolnya Pertahanan Berlapis
Majalah Newsweek menulis, skandal ini cukup menakutkan. Yakni
kegagalan sistemik, sesuatu yang sebenarnya tercermin jelas dalam
Tragedi 11 September. Saat itu, semua perangkat seperti bisu dan tuli
tak bisa mencegah teroris membajak empat pesawat, menabrakkannya ke
pencakar langit dan membunuh ribuan orang. Dalam kasus Enron, sistem
kontrol berlapis-lapis tidak bisa mencegah segelintir orang memuaskan
ketamakan di atas penderitaan banyak orang.
Para direktur perusahaan publik punya kewajiban legal dan moral untuk
memberikan data keuangan yang jujur-para direksi Enron tidak
melakukannya.
Fungsi auditor independen tak hanya memastikan bahwa laporan keuangan
sebuah perusahaan sesuai dengan aturan dan standar akutansi, tapi juga
memberi investor maupun kreditor gambaran yang fair serta akurat tentang
apa yang terjadi. Andersen gagal di dua lapangan itu.
Para analis di Wall Street diharapkan menyiangi secara kritis apa
yang tersembunyi di balik angka-angka-tak satupun melakukannya.
Bahkan nyaris tak satu pun para wartawan bisnis-pilar keempat
demokrasi-mampu mengendus keanehan Enron sampai kebusukan telah demikian
menusuk hidung.
Skandal Enron tak hanya menyangkut episode ketika perusahaan itu
rontok tiba-tiba. Tapi, juga misteri bagaimana dia mencuat menjadi
raksasa yang meteorik. Dan ini merupakan bagian yang lebih menakutkan
lagi karena menyangkut aspek politik dan ekonomi lebih luas, tak sekadar
sektor keuangan.farid gaban
Pendapat:
Ada beberapa pihak yang bertanggung jawab atau terlibat dalam masalah ini yaitu pemerintah AS, dalam hal ini SEC, yang sangat tidak menjaga kepentingan
investor untuk mendapatkan iklim investasi yang sehat dan aman, kemudian para pemimpin Enron, baik Kenneth Lay, Jeffrey Skilling, apalagi Andrew
Fastow, dan juga beberapa karyawan Enron lainnya yang secara sadar dan
sengaja terlibat dalam manipulasi nilai aset dan laba perusahaan yang
membuat investor tertarik menanamkan modalnya padahal mereka baru saja
membakar banyak uangnya. Arthur Andersen, sebagai auditor seharusnya mereka memeriksa dengan
obyektivitas dan independensi yang tinggi, namun karena terbujuk oleh
uang mereka malah terlibat dalam manipulasi laporan keuangan Enron yang
pada akhirnya merugikan banyak pihak sampai milyaran dolar AS.
sumber : http://iramustika.wordpress.com/2008/04/24/skandal-enron-dan-arthur-andersen/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar